Minggu, 17 April 2016

Mengapa Turis Lebih Suka ke Malaysia ketimbang Indonesia?




Apa yang kita peroleh sepulang dari luar negeri? Tentu banyak pelajaran bisa dipetik – karena itulah sejatinya salah satu manfaat bepergian. Begitu pula kalau kita ke Malaysia: boleh jadi banyak dari kita bertanya-tanya, apa sih hebatnya negeri jiran itu, mengapa brand-nya moncer, sehingga turis membanjiri negeri itu, dan mahasiswa asingnya begitu banyak?
Salah satu atraksi turis di Malaysia: lebih 23 juta
Apa hebatnya Malaysia sehingga banyak pasien Indonesia lebih suka berobat ke sana ketimbang di dalam negeri? Apakah dokter kita kurang pandai? Tidak. Dokter di Indonesia banyak sekali yang brilian, tetapi pelayanan sebagian Rumah Sakit memang masih payah. Apakah kurang cantik berbagai tempat pariwisata kita? No. Bahkan banyak lokasi wisata kita jauh lebih indah dari Malaysia, tetapi kita kurang pandai memasarkannya ke dunia, sehingga turis asing ke Indonesia kurang dari sepertiga dibanding wisatawan yang ke Malaysia.
Lalu mengapa Malaysia digemari turis manca negara, baik yang melancong ataupun yang mengikuti medical-tourism?
Kita mesti meneliti lebih jauh apa penyebab itu semua. Yang jelas, data yang ada menunjukkan industri pariwisata Malaysia selama 2011-2013 tumbuh sekitar delapan prosen, sehingga meningkatkan perolehan devisa negara itu pada 2013 mencapai lebih dari US$ 22,4 milyar.
Artikel ini awalnya berjudul “Komunikasi Malaysia” dan dimuat dalam media portal ‘Inilah.Com”, 31 Januari 2013.
Selain dari negara-negara ASEAN, khususnya Indonesia dan Singapura, turis berdatangan dari China, India dan Timur Tengah, termasuk dari Iran yang hingga kini masih diboikot Barat. Dari Iran itu saja, Malaysia menerima tidak kurang dari 180 ribu turis selama tahun 2011 lalu, sementara pada tahun yang sama (2011) jumlah turis dari Iran ke Indonesia hanya 18 ribu orang.
Statistik Turis yang Berobat ke Malaysia
Semua itu rupanya tidak lepas dari gencarnya promosi pemerintah Malaysia sendiri, selain meningkatnya reputasi (brand) negeri itu sebagai hub pusat belanja (shoping) yang menarik di dunia. Dan promosi itu adalah soal komunikasi, bagian penting pemasaran.
Bahkan peristiwa hari besar pun dikomunikasikan secara serius oleh pemerintah Malaysia kepada khalayak ramai di dunia. Negeri itu rupanya sengaja merancang banyak libur nasional yang bisa menjadi daya tarik bagi turis asing juga. Pada bulan Januari-Februari ini saja, setidaknya ada tiga libur besar yang menjadikan atraksi tersendiri bagi turis manca negara di Malaysia: pertama Hari Raya Maulidur Rasul saw, disusul dengan liburan panjang Thaipusam (agama Hindu), dan Tahun Baru Cina.
Halal Travel – Indonesia vs Malaysia: branding menentukan
Maka tidak aneh jika Anda berkunjung ke Kuala Lumpur, Anda akan menyaksikan sejumlah besar turis asing dari tiga latar belakang agama dan kultur: umat Muslim, penganut agama Hindu, dan kaum Tionghoa.
Kita belum tahu berapa jumlah turis asing ke Malaysia tahun ini. Yang jelas, pada tahun 2009 lalu, meski terjadi penurunan ekonomi dunia dan kekuatiran terhadap flu burung (H1N1) pada tahun 2009 itu, Malaysia berhasil menjaring 23,6 juta turis mancanegara, meningkat 7 % dibanding tahun sebelumnya. Sebagai pembanding, jumlah turis asing ke Indonesia tahun 2009, 2010 dan 2011 menurut data Badan Pusat Statistik adalah 6.323.730, 7.002.944 dan 7.649.731.
Medical Tourism dan Komunikasi di Bandara
Bukan hanya pelancong biasa, Malaysia rupanya juga menggenjot wisata kesehatan alias ‘medical tourism’. Menurut laporan, “Malaysia Medical Tourism Outlook 2012”, perolehan dari industri medical tourism itu tumbuh sebesar 21 % selama jangka waktu 2011-2014. Lagi-lagi ini semarak berkat promosi gencar yang dikerjasamakan secara apik antara sektor kesehatan pemerintah dan swasta Malaysia bersama institusi terkait lainnya.
Di antara yang ‘dibanggakan’ dalam promosi itu adalah bahwa pasien asing bisa memperoleh layanan terapi sekelas negara maju tetapi ‘dengan harga jauh lebih murah’.
Turis ke Borobudur: hanya 7 jutaan setahun
Semua promosi itu tentu bermanfaat, apalagi ditambah getok-tular ‘words of mouth’ yang disebarkan para pasien yang puas atas layanan yang mereka terima selama berobat di sana. Data yang ada menunjukkan bahwa kebanyakan turis asing berobat ke Malaysia untuk kasus-kasus seperti kanker, operasi kosmetik dan bedah tulang (ortopedi).
Semua yang di atas kunci utamanya adalah cara Malaysia ’berkomunikasi’ kepada dunia di berbagai media dan tempat. Termasuk, salah satunya komunikasi di (dan tentang) bandara ibukota negara Kuala Lumpur International Airport (KLIA).
Mari kita tengok. Anda tentu sudah sering mengunjungi bandara Soekarno Hatta di Cengkareng, dan merasakan sendiri bagaimana riuh-rendah dan semrawutnya suasana di situ. Di KLIA, semuanya tampak terencana dengan baik, transparan, dan user friendly – mirip dengan bandara Singapura dan Dubai. Orang dengan mudah mengetahui dan mendapatkan fasilitas atau layanan apa yang mereka inginkan. Bahkan di tengah-tengah kompleks KLIA itu Anda juga bisa melihat kantor khusus bagi penjemput yang ingin mengurus ‘kartu ijin masuk’, dengan ruang kaca bening, sehingga tampak jelas orang mengantri untuk membeli tiket masuk khas ke bagian dalam kedatangan penumpang.
Kerata aerotrain di bandara KLIA (Photo credit: Wikipedia)
Lalu, di salah satu sudut airport KLIA itu tertulis promosi lain, ‘selamat datang di salah satu negara paling aman di Asia’. Promosi atau pengumuman yang kelihatan sepele itu sesungguhnya amat penting: mau tidak mau ia sekaligus bisa memberi pesan dan kesan bahwa para turis yang baru datang itu lebih baik tinggal di Malaysia saja, ketimbang pergi ke negara tetangga yang ‘tidak seaman’ Malaysia. Dan bukankah komunikasi itu adalah menyampaikan ‘pesan’ dan ‘kesan’?
Lalu, ini yang tidak kalah penting: cobalah berkunjung ke website KLIA, kemudian bandingkan dengan milik kita. Jika situs bandara Soekarno Hatta hanya menyediakan sedikit sekali informasi yang berguna (khususnya jadwal pesawat), situs KLIA memberi informasi mulai dari jadwal penerbangan, fasilitas (termasuk peta dan informasi detail di mana letak musola, toilet dan ATM),  berbagai penghargaan yang diperoleh bandara itu, dan cara transportasi yang bisa dipilih turis baik itu kereta, taksi, bis, bahkan tarif parkir sekali pun.
Malaysia – Truly Asia: jadi Indonesia bukan truly Asia?
Tak cukup begitu. Di tengah Kuala Lumpur, kawasan Bukit Bintang disulap sedemikian rupa sehingga menjadi semacam ’surga’ yang bersih bagi para turis, khususnya yang datang dari Timur Tengah. Lalu, ketika taksi Anda – yang sopirnya tidak berani membawa penumpang lebih dari empat (karena law enforcement yang ketat) – mengisi bensin, di pompa bensin Anda akan melihat komunikasi lain berupa sebuah pengumuman yang menjelaskan: sekian Ringgit harga asli bensin atau solar, sekian Ringgit yang disubsidi Negara, dan berapa Ringgit sisanya yang dibayar konsumen.
Semua yang di atas itu, sekali lagi, adalah komunikasi, yang dalam jangka panjang membangun reputasi atau brand negeri itu. Malaysia rupanya paham bahwa ahli komunikasi perlu menggunakan branding tidak saja sebagai alat untuk mendesain, mengkreasi dan re-’create’ berbagai produk atau perusahaan, tetapi juga bagi ’sebuah negara’.
Menteri Pariwisata Indonesia – Marie Pangestu: Perlu lebih gencar membangun brand Indonesia di dunia
Dan branding sebuah negara besar perannya dalam memengaruhi orang. Ia dapat mengubah kita secara total, dan memperkuat persepsi kita, karena branding di dalam benak adalah mengenai penciptaan koneksi-koneksi dan asosiasi dengan orang dan berbagai benda bergerak ataupun benda mati. Ia menyebabkan orang pergi ke negara lain, baik untuk melancong, berobat, ataupun bersekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar